Selasa, 01 Mei 2012

FROM MAYAN WITH LOVE


4/29/12. 2.32 am. Malam ini saya berada di rumah seorang teman ketika sama-sama menjadi pengawal pemilu beberapa waktu silam. Di kaki pegunungan Semeru nan sejuk, mungkin hanya saya saja yang belum terlelap dini hari ini. Pikiran saya melayang-layang tiada tahu rimbanya, gelisah datang tiba-tiba. Meski bulan sabit dan lenguh kerbau berharmonisasi dengan suara lemari pendingin dan detak jam, saya makin gelisah.

Sebal sekali, MirC dan YM tak juga connect. Apalagi membuka Facebook dan Yahoo. Ah, maya, kenapa kamu memperbudak aku dengan iming-iming indahmu? Mengapa aku tak bisa menghilangkan kata “sinyal” dari pikiranku? Maya, maya, kamu itu kalau dipikir hanya halusinasi. Sumbangsih media elektronik yang membawa tubuh dan pikiran manusia melesat ringan melintasi batas ruang dan waktu.

Pikiran saya masih melayang dan berhenti pada setting-an waktu beberapa tahun lalu. Saya pikir saya sudah banyak membuang waktu saat ini. Bermain kata-kata tak berarti. Bukankah tugas manusia cukup menentukan mimpi dan memolesnya sehingga menjadi nyata? Maya lagi-lagi bermain dengan saya. Omong-omong, saya sudah lama berteman dengannya. Sejak lama, hampir belasan tahun lalu, sejak saya muak berteman dengan kenyataan.

Saya ingin bercerita. Lebih dari satu dekade lalu maya merupakan teman terbaik saya. Melewati masa-masa indah bersamanya adalah hal yang saya impikan setiap hari. Dia diam dan penurut. Tak banyak bicara dan hanya menampilkan suatu realita buatannya, miliknya seorang. Sampai hubungan kami renggang, ketika maya memperkenalkan saya dengan seorang yang sudah membuat saya jatuh cinta sekaligus rasakan sakit minta ampun (lagunya Mulan Jameela, red). Saat itu saya declare untuk kembali dalam dunia nyata, dimana saya bisa menemukan diri saya lagi. Meski saya akui, dia layak saya urus dan mengurusi saya.

Dari maya menuju nyata, sampailah saya pada suatu perjumpaan dengan hal yang disebut cinta. Tak ada yang paham apa kaitan dengan itu semua, sekalipun saya sang pelaku. Yang pasti saya merasakan kenyamanan, keindahan dan kehangatan. Dan mulai paragaraf ini saya batasi pada cinta antara dua anak manusia, satu perempuan satu lainnya, sebut saja laki-laki.

Lewat sharing dan cara pandang yang sama, saya bisa melihat dunia (benar-benar) dari sisi mahkluk hidup. Memegang pernik kalung bulu suku Dayak, menghayati Syailendra dalam relief Borobudur, rasakan asinnya berenang di tepian Kukup, bermain pasir di Parangtritis, rasakan lezatnya durian Wonosari, seremnya suasana peradilan di pengadilan Sleman, hingga dinginnya Kaliurang dan harumnya bebungaan liar di sekitarnya adalah pengalaman berarti dalam hidup saya. I feel worthy, better anytime in my life. He’s the one unforgettable.

Who is he? Now he’s an unknown for me. He left me with open wound and I never let myself to be cured. I feel deep in love. Well, mencintai adalah pekerjaan terberat dalam hidup saya. Mencintai berarti pelepasan energi negatif, berperasaan tenang jika bersama sesuatu atau seseorang tepat bersama kita. Mencintai bukanlah suatu dosa, karena dia hadir dalam suatu perasaan positif yang membuka kejernihan pikiran dan mata batin. Dia ada dan menghidupkan dalam suatu yang hidup. Mencintai adalah sebentuk perasaan sempurna dari Tuhan, anugerah kepada mahklukNya, agar semakin menguatkan keagungan dan eksistensi terhadapnya. Tak ada yang lebih baik di dunia ini, selain cinta, cinta, cinta, dan lebih baik cinta daripada perang. Katakanlah begitu, karena cinta terasa begitu murni jika semuanya berjalan dengan apa adanya tanpa saling menciderai pihak terkait. Karena saya memandang arti cinta sebagai suatu keseriusan, pengorbanan tulus yang tiada tandingannya.

Mencintai adalah membiarkan pasangan untuk bahagia menjadi dirinya sendiri. Mencintai berarti melepaskan keegoisan yang membara dan gumpalan merah dalam batin. Lepaskan dan cairkan dia, menjadi sebentuk cahaya putih yang hanya nampak pada raut wajah sang pencinta, yang damai dan menyejukkan. Sang pencinta menjadi pemilik mata sayu dan senyum terindah. Suaranya yang lembut dapat membuat bayi tertidur dalam pangkuannya. Sang pencinta memiliki wajah yang berbinar karena cahaya tulusnya yang tak pernah padam. Sang pencinta adalah manusia terbaik diantara semua manusia, karena dia dapat menaklukan das uber ich ke zona terendah. Sang pencinta menjadi mahkluk tahan banting yang meski air mata berlinang di kedua pipinya, dia hanya bersedih tidak bisa membahagiakan pasangannya dengan sempurna. Marahlah kepadanya, dan dia akan membalasmu dengan pelukan hangat dan kata-kata yang menentramkan.

Sang pencinta adalah orang yang khatam menerima cobaan. Dia menemukan kembali eksistensi dirinya yakni bagaimana dia dapat berguna untuk lingkungannya, terkhusus pasangannya. Dia mendedikasikan dirinya untuk mengurus kedua hal tersebut. Tanpa tanda tanya, karena dia sudah memiliki keyakinan dalam diri yang dituntun intuisi. Dia tetap berada dalam titik itu, titik memberi tanpa mengharap imbalan. Katakanlah tulus, itu adalah kehidupan sang pencinta. Dan saya sudah mengkhianati sang pencinta.

Kebodohan tersempurna dalam kehidupan berhasil saya laksanakan. Kali ini saya ditipu oleh kenyataan yang justru tampak indah, ternyata berupa bullshit belaka yang menyaru dalam diri malaikat. Berkenalan dengannya adalah kesalahan terbesar dalam kehidupan saya. Tapi selalu saja ada sisi positifnya, saya menjadi paham bahwa hidup merupakan struggle antara kenikmatan dan cobaan. Batas keduanya terasa tipis karena semua kenikmatan adalah cobaan dan semua cobaan adalah kenikmatan.

Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, layaknya susuk yang sudah tak mempan lagi, sudah habis daya pikatnya. Saya terbelenggu dalam suatu keadaan dimana saya kehilangan jati diri dan masa depan. Saya serahkan nasib padanya, berharap ada keajaiban datang dan mengeluarkan saya dari jerat palsu ini. Berharap ini adalah mimpi panjang yang akan usai sejenak ketika saya mendengar bunyi weker dan terbangun. Tapi tidak, ini kenyataan, masih sakit pula ketika tercubit atau tergigit. Apa daya saya menerimanya dan menyarankan diri saya untuk bangun lebih awal. Saya tak ingin terlambat lagi untuk memulai kehidupan saya selanjutnya. Saya tersadar saat ini, saya rasakan tubuh saya ringan meski kepala masih pusing dan kaki kram. Saya temukan diri saya dihadapkan dalam beberapa percabangan jalan. Saya harus memilih. Tetap tinggal atau bergerak maju. Maju pun, harus menentukan arah dan tujuan. Mau apa saya di kehidupan saya kedepan? Mau apa saya di kehidupan saya selanjutnya?

Kalau dipikir ulang, ini kembali lagi ke pemilik semesta. Dia adalah pemberi kasih sayang dan pencipta para pemberi kasih sayang. Tapi Dia yang asli, sang Pencipta. Mau apa? Memang hukumnya demikian. Jadi ya, untuk menjadi diri sendiri, cukuplah bekerjasama dan mencintai diri sendiri. Dia Maha Pemberi dan Maha Sempurna jadi Dia tak kekurangan supply apapun, justru Dia adalah supplier-nya. Kehidupan dunia ini hanya tipu-tipu layaknya maya yang tak nyata. Kehidupan “ter-nyata” adalah kehidupan kelak di akherat. Ketika manusia segala bangsa berkumpul di Mahsyar yang terdiri dari tiga matahari yang berjarak 3 senti diatas kepala. Sembari berjalan menuju tempat pengadilan dengan didampingi dua malaikat penjaganya. Ujian pendadaran ala alam Barzakh dimulai, pertanggungjawaban kehidupan di dunia. Setelah itu baru diputuskan, layak masuk surga atau neraka dan disanalah semua yang sesungguhnya terjadi. Kenikmatan dan cobaan nyata, manakah yang akan kita pilih, terserah kita di dunia ini.

Kalau dipikir, manusia itu sebenarnya mahkluk lemah (yang juga terbuat dari lemah –bahasa Jawa, tanah-) dibanding benda-benda ciptaanNya yang lain. Terbuat dari daging dan darah, jika kena panas jadi terbakar, jika kena dingin jadi beku. Jadi apa yang kita cari sebetulnya? Dalam konteks ini, sang pencinta adalah figur yang sempurna untuk dimasukkan surga, karena keberhasilannya dalam menenggelamkan egoisme diri ke dalam lautan terdalam bernama hati. Dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam alunan sufi tentang dasar kehidupan, yakni cinta pada sesamanya.
What a complexity. At least, saya menyarankan pada calon pencinta dan penerima cinta. Bukalah hati dan pikiran dan tunggulah saat yang tepat. Ketika saling tak dapat tergantikan, maka itulah saat cinta datang. Sembari menunggu cinta, bekerjasamalah dengan dirimu, sayangilah dia dan jadikan dia berharga. Karena dia yang temanimu sejak lahir sampai mathi.

Omong- omong, sebentar saya mencoba connect kembali di channel Yogyakarta. Menantikan pengganti sang pencinta sejati sembari bersajak...

I
Sebentuk resah datang menggodaku
Kuusir dia dari sisiku, tapi dia tak bergeming
Kubiarkan saja dia tak kuajak bergabung
Namun pelan dia merasuki aku yang lemah
Aku yang pernah dikatakannya kuno karena tak sanggup bercinta
Ah, resah, kenapa akhirnya kau mendatangiku
Diantara banjir rayuan dan kalimat gombal
aku merasa tertantang menjadi tangguh
selain tak sanggup berkata-kata manis dalam helai surat dan pena buluku

atau
Apakah ini saat yang tepat untuk kuutarakan padanya,
Jika aku mulai… ingin jatuh padanya..

Ah, resah, kau memang sialan!
Bubar sudah rencanaku menjadi ratu

II

“Aku bisa saja benamkan dirimu dalam pelukku.
Kibaskan sejenak cipta dan karsa, hanya rasa yang bicara.
Tiada selain engkau, cukup engkau saja.
Karena keras nadimu masih dalam ingatku
Dan lembut rambutmu masih terasa di genggamanku.
then I try to apologize myself, because I fall in love with you.”

Minggu, 16 Oktober 2011

LAUT INDONESIA MILIK KITA

Pada hari Sabtu seperti biasa, saya dan dua gadis kecil saya tengah menonton acara keluarga yang dikhususkan untuk bunda dan balitanya. Acara saat itu bertema tentang pengenalan cita-cita pada anak. Saya baru tahu ternyata mulai umur tujuh tahun anak sudah mulai memiliki bayangan mengenai cita-citanya. Dan orangtua bertugas untuk mengenali bakat anak sejak dini serta memberi warna pada anak mengenai cita-citanya.

Seorang psikolog yang diundang pada acara tersebut mengatakan bahwa kita harus mengenalkan laut kepada anak kita. Bagaimana tidak, belahan Bumi tempat negara Indonesia ini terletak, terdiri dari wilayah laut yang luasnya dua kali lipat daratan. Tanpa kita sadari, sumber daya alam berupa laut yang melingkari daratan yang kita diami ini seringkali terlupakan dan hanya sedikit orang yang mengabdikan diri untuk laut republik ini.

Sekilas laut terlihat menyeramkan karena luasnya yang mendominasi Bumi. Laut dapat “memangsa” daratan begitu saja jika dia menginginkannya. Sudah banyak cerita mengenai pulau-pulau yang ditelan oleh laut, bahkan juga pulau-pulau baru yang bermunculan dari laut. Pulau sendiri adalah daratan yang tercipta dari laut yang mengalami pendangkalan. Bisa jadi pulau tempat kita berdiam kini dulunya adalah bagian dari laut luas. Laut luas sendiri adalah istilah saya terutama untuk mitos-mitos non lokal mengenai laut yang sampai saat ini masih ada di sekitar kita, yakni mitos kapal Nabi Nuh dan tenggelamnya Atlantis.

Dari kacamata ekofeminisme, saya melihat laut bagaikan air ketuban. Menurut teori dalam sejarah , dinosaurus tercipta dari kemunculan ikan purba di laut luas. Ikan tersebut beradaptasi di darat, memiliki kaki dan menjadi mahkluk dinosaurus yang hingga kini masih ditemukan fosilnya (dan tentu saja menjadi bahan bakar minyak utama yang menghidupkan sekaligus menyakiti Bumi ini). Saya analogikan sama halnya seperti air ketuban dalam rahim ibu yang mendampingi kehidupan awal janin seorang mahkluk hidup hingga saat dia siap dilahirkan di dunia.

Saya sendiri hidup di daratan Jawa sejak 26 tahun lalu dan belum pernah menginjakkan kaki di pulau lain di luar Jawa selain pulau Bali. Sehingga saya dapat menyatakan bahwa satu-satunya perjalanan laut yang saya lakukan adalah perjalanan menyeberangi selat Bali yang menghubungkan pulau Jawa dan Bali. bukan persoalan mudah bagi orang awam seperti saya untuk menikmati perjalanan laut selama kurang lebih 1 jam tersebut. Saat itu saya belum dapat berenang dan otak dipenuhi kekhawatiran jika kapal tenggelam. Saat itu saya belum mengalami kenikmatan dan perasaan bersyukur atas diberikannya laut yang membuat Indonesia terkenal sebagai negara kelautan selain Jepang.

Kenyataannya sudah banyak yang mengetahui jika Indonesia ialah negara kelautan. Dan memang betul begitu adanya ketika saya mulai mengenal pelajaran PPKn dan IPS sejak di bangku Sekolah Dasar. Lagu Rayuan Pulau Kelapa bahkan sempat didiktekan oleh guru Sekolah Dasar saya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Lebih lengkap pengetahuan mengenai laut saya dapatkan pada pelajaran Geografi di bangku sekolah menengah pertama dan atas. Tapi untuk saya pribadi, saya hanya mengenal daratan dan pantai. Saya hanya melihat warna biru pada peta negara Indonesia sebesar 2 x 1 meter yang terpampang di ruang perpustakaan dan globe di ruang kelas semasa sekolah tersebut. Saya hanya mengenal cerita mengenai laut luas dalam pelajaran Sejarah mengenai perjalanan Amerigo Vespucci, Columbus, hingga jalur pelayaran perdagangan orang-orang Cina dan perjalanan orang-orang Belanda yang pada akhirnya sempat melakukan penjajahan di negeri ini hampir 350 tahun lampau.

Laut Indonesia sendiri terkenal kaya akan hasil laut dan tambang . Sebenarnya saya miris ketika harus menuliskan kalimat diatas, karena bagi saya “terkenal” saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk mengeksplorasi secara menyeluruh kekayaan alam tersebut. Saya percaya data statistik kelautan yang dipublikasikan adalah sebagian kecil dari kekayaan laut kita. Bukankah laut yang merupakan bagian wilayah Indonesia adalah berkah yang dititipkan Tuhan kepada seluruh warga Indonesia?

Terkait dengan itu, di era kekinian, laut kita telah mengalami banyak hal yang bersifat merugikan. Antara lain adalah banyaknya pencurian ikan dan benda warisan nenek moyang dari kapal hasil perdagangan masa lalu yang tenggelam dan tersimpan di bawah laut. Hingga terdamparnya ikan paus dan lumba-lumba langka yang ditemukan baru-baru ini di Jawa Timur. Belum lagi cerita lama mengenai terlepasnya Timor Timor dari bumi negara ini karena provokasi pihak asing atas tambang minyak lepas pantainya.

Selain itu, banyaknya kecelakaan kapal laut akhir-akhir yang hampir selalu menyebabkan kematian yang memang kebanyakan dikarenakan faktor cuaca. Selain itu juga kurangnya kesadaran masyarakat / pemilik perahu / kapal untuk mematuhi batasan muatan penumpang kapal / perahu. Seringnya kapal tersebut melebihi muatan. Dan secara faktor usia kapal biasanya sudah puluhan tahun tetapi masih digunakan, sehingga sudah tidak memenuhi standar keamanan.

Dari segi teknologi, Indonesia yang saya tahu hanya memiliki sejumlah kecil kapal selam, ahli perkapalan, dan tentu saja minimnya ocean scientist, peneliti kelautan. Bahkan karena minimnya kesadaran akan pengetahuan laut dan teknologi kelautan, maka Indonesia juga meminta bantuan negara lain untuk menyelesaikan urusan kelautannya. Untuk pencarian kotak hitam pesawat Adam Air yang meledak, menenggelamkan seluruh awak dan penumpang pesawatnya di kedalaman perairan Mandar Sulawesi Barat beberapa tahun lalu saja harus meminta tolong negara Jepang dengan teknologi sonarnya. Mungkin secara hubungan bilateral dan internasional, negara berkembang ini terlihat baik karena berhasil mengembangkan konsep tepo seliro antar manusia. Tapi bagi saya, saya justru malu karena seakan negara ini tidak memiliki idealisme untuk pengembangan pendidikan kelautan yang notabene merupakan harta karun terpendam bangsa ini. Pemerintah Indonesia hanya sibuk mengirim taruna Angkatan Lautnya untuk mengikuti pelayaran pesiar ke negara-negara lain dengan tujuan perkenalan duta bangsa. Mengapa tidak mengurusi laut kita sendiri saja, tho?I bet, negara ini sama sekali belum mengenal kompleksitas wilayahnya, tempat tinggalnya, tempat masyarakatnya hidup dan menghidupi diri.

Perbatasan wilayah kelautan Indonesia dengan negara tetangga juga menjadi masalah esensial yang tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah pusat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sentralisasi pemerintahan di ibukota yang menyebabkan tidak terlingkupinya bagian-bagian kecil yang sesungguhnya dapat membesarkan negara ini. Minimnya anggota militer kelautan yang menjaga batas wilayah kelautan Indonesia dan belum jelasnya peta perbatasan negara seringkali membuat diplomasi negara kita melemah. Sadarkah kawan, jika kita cenderung menyerahkan pulau-pulau kecil disekeliling kepulauan Indonesia kepada pihak negara asing. Mengenai hal ini, saya pernah melihat salah satu tayangan televisi mengenai daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di sekitar kepulauan Kalimantan. Mereka lebih memilih berbelanja kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan sepeda motor ke Malaysia secara ilegal, karena berbelanja di Indonesia bagi mereka cukup mahal. Akibatnya barang-barang yang dijual di toko-toko di daerah tersebut banyak yang berlabel Ringgit ketimbang Rupiah. Bukankah ini justru merugikan dan mencoreng wajah pemerintah Indonesia?

Langkah awal solusi mengatasi masalah ini menurut saya adalah memasukkan mata pelajaran Kelautan mulai sekolah tingkat dasar, menengah pertama, dan atas. Sehingga anak yang dalam proses pengenalan lingkungan, dapat mengumpulkan banyak informasi mengenai tanah airnya. Namanya saja tanah dan air. Tanah ya, tempat tertanamnya pepohonan dan batako rumah kita. Air itu ya, laut di luar tanah kita. Satu bagian yang terpisah tapi komplementer.

Idealnya pula Indonesia memiliki sebuah perguruan tinggi yang membahas mengenai kelautan dengan jumlah kapasitas mahasiswa yang cukup besar. Melalui pengalaman-pengalaman yang telah didapat tersebut, diharapkan seorang anak dapat timbul jiwa nasionalisme terhadap negaranya dan sukarela mengabdikan diri sebagai ocean scientist di bumi tanah airnya. Mereka diharapkan sebagai penemu, pencipta dan pemikir mengenai laut Indonesia dan pendayagunaannya bagi masyarakat dan negara ini.

Akhir kata saya ingin menyatakan bahwa laut memiliki potensi luar biasa untuk memberikan kekayaan abadi bagi anak cucu penerus bangsa ini. Saya berharap suatu saat nanti akan ditemukan suatu ilmu untuk mengukur kedalaman laut Indonesia per milimeternya, ilmu khusus kegunungapian bawah laut, ilmu khusus gempa bawah laut, ilmu untuk mempermudah identifikasi hewan perairan laut Indonesia, kereta api bawah laut dengan tarif murah yang menghubungkan antar pulau, dan tak lupa akuarium terbesar didunia untuk menunjukkan pengalaman baru yang memperkaya pengetahuan anak cucu kita. Selain itu juga dengan diperdalamnya pengetahuan kita terhadap laut yang merupakan murni kekayaan alam Indonesia, maka kita akan lebih mengenal laut kita. Sehingga diharapkan bencana kelautan dapat diminimalisir dengan kecanggihan teknologi dan intuisi sang scientist. Apabila kita sanggup mengelolanya dan mempercayakan pengurusan sumber daya alam kelautan kepada seluruh anak negeri, saya percaya niscaya suatu saat negara kita ini mampu melunasi semua hutangnya dan memerdekakan semua WNI dari kemiskinan serta kemalasan. Caiyo!

MALAM INI

Malam ini
Kepul asap rokok itu tak lagi menyapa wajahku
Semestinya aku bisa tidur lelap karenanya
Semestinya aku bisa tenang karenanya

Malam ini
Kubuat secangkir kopi panas untuk temaniku
Ada rasa aneh yang sedari tadi selimuti benakku
Rasa yang tak mampu buatku pejamkan mata
Rasa yang sanggup buatku lelap dalam mimpi semu

Malam ini
Aku berdiam di sudut ruangku
Aku rasa kesepian yang teramat dalam
Kehilangan dia satu yang kusayang